BAB I
GUNDAHNYA SANG ARJUNA
Bermulalah di sini Gita suci yang dituturkan dari Yang Maha Suci Krishna.
Berkatalah Dhristarashtra.
1. 1
Dhṛtarāṣṭra uvāca
dharma-kṣetre kuru-kṣetre
samavetā yuyutsavaḥ
māmakāḥ pāṇḍavāś caiva
kim akurvata sañjaya
Di dataran Nan suci ini (dharmakshetra), tanah kebenaran, tanahnya para Kuru, berkumpullah putra-putraku berserta laskar-Iaskar mereka, dan juga putraputra Sang Pandu (Ayahnda Pandawa) bersiapsiap untuk suatu yudha. Apa saja yang sedang mereka lakukan beritakanlah kepadaku, wahai Sanjaya. .
Penjelasan: Kurukshetra disebutjuga dhamzakshetra, terletak di Hastinapura di utara Kota New Delhi yang modern dewasa ini. Tempat ini di masa yang silam dianggap suci karena sering dipergunakan oleh para resi, kesatria untuk bertapa, bahkan kabarnya juga oleh para dewa-dewa.
Salah satu kata pertama yang disebut di sloka pembukaan Bhagavat Gita di atas ini adalah kata dharma, inilah inti sebenamya yang harus diresapkan oleh sidang pembaca, karena inilah salah satu pesan sesungguhnya Bhagavat Gita. “Bangunlah jiwa dan ragamu dengan dan untuk dharma.” Kata dharma berasal dari kata “Dhru” yang berarti “pegang.” Dharma adalah kekuatan yang memegang hidup ini, dharma tidak terdapat dalam ucapan-ucapan manis, tetapi adalah kesaktian di dalam jiwa kita yang merupakan inti dari kehidupan kita.
Dan Kshetra berarti padan, ladang atau medan. Seyogyanyalah kita bertanya pada pribadi kita masing-masing, “apa sajakah yang selama ini yang telah kutanam dan kupetik dalam hidupku ini, dharma ataukah adarma? Bagi yang menanam dharma maka hidupnya akan menghasilkan karunia Ilahi, dan yang telah melakukan adhanna maka kita dapat bercermin kepada para Kaurawa.
“Bersiap-siap untuk suatu yudha,” Kaurawa menginginkan perang, sedangkan para Pandawa sebenarnya menginginkan perdamaian. Sang Krishna yang Maha Bijaksana berusaha agar perdamaian terwujud, tetapi para Kaurawa selalu menolaknya, maka untuk mempertahankan diri dan menegakkan dharma/kebenaran terpaksalah para Pandawa berperang walaupun dengan laskar yang sedikit. Tempi yang sedikit ini akhimya akan menang karena mereka berjalan tegak di jalan kebenaran.
Dalam ucapan Dhritarashtra yang mengatakan di atas “tanahnya para Kuru” dan juga “putra-putraku,” tersirat adanya rasa egois atau ahankara (angkara) yang besar, inilah sebenarnya sumbef dari segala tragedi dalam hidup ini.
1.2
sañjaya uvāca
dṛṣṭvā tu pāṇḍavānīkaḿ
vyūḍhaḿ duryodhanas tadā
ācāryam upasańgamya
rājā vacanam abravīt
Kemudian pangeran Duryodana. Setelah melihat barisan laskar para Pandawa yang teratur rapi, menghampiri gurunya dan berkata:
Penjelasan: Yang dimaksud guru di sini adalah Dronacharya, guru sang Kaurawa dan Pandawa. Di Baratayudha ini Drona mendukung Karuawa sampai akhir hayatn
1.3
paśyaitāḿ Pāṇḍu -putrāṇām
ācārya mahatīḿ camūm
vyūḍhāḿ drupada-putreṇa
tava śisyena dhīmatā
Lihatlah wahai guruku, barisan Iaskar para Pandawa yang telah siap untuk berperang, mereka semua dipimpin oleh murid Sang Guru yang bijaksana, yaitu putra Sang Drupada.
Penjelasan: Yang dimaksud “murid yang bijaksana” di sini adalah Dhristadyumna. Ia adalah putra Raja Drupada dari kerajaan Panchala. Dia diangkat para Pandawa menjadi panglima perang untuk pihak Pandawa; Dhristadyumna sebenarnya masih amerupakan saudara ipar para Pandawa. Dalam perang ini Resi Dorna akan membunuh Raja Drupada. kemudian Dhristadyumna akan membunuh Drona. Disusul putra Drona yang disebut Asvatama kemudian membunuh Dhristadyumna. Inilah lingkaran karma.
1.4
atra śūrā maheṣv-āsā
bhīmārjuna-samā yudhi
yuyudhāno virāṭaś ca
drupadaś ca mahā-rathaḥ
Di sinilah para pahlawan-pahlawan besar berkumpul. dari Bima, Arjuna ke yang tak kalah kehebatannya yaitu Yuyudana, Virata dan Drupada.
1.5
dhṛṣṭaketuś cekitānaḥ
kāśirājaś ca vīryavān
purujit Kuntī bhojaś ca
śaibyaś ca nara-puńgavaḥ
Juga Dhrishtaketu, Chekitané darrraja besar dari Kashi, Purujit, Kuntiboja dan Shaibya, semuanya pendekar-pendekar Nan sakti wirawan.
1.6
yudhāmanyuś ca vikrānta
uttamaujāś ca vīryavān
saubhadro draupadeyāś ca
sarva eva mahā-rathāḥ
Juga yang gagah berani yaitu. Yudhamanyu dan Uttamauja, Saubadra dan putra-putra Draupadi. Bima: Putra kedua dari Pandu. Yang kedua dari para Pandawa.
Arjuna: Yang ketiga dari Pandawa bersaudara. Dan yang paling dikasihi Sang Krishna. Yuyudana: Disebut juga Setyaki. Pahlawan yang gagah perkasa.
Virata: Raja dari Matsya-desha. Seorang raja Nan arif-bijaksana. Selama pengasingan para Pandawa di hutan (13 tahun lamanya), tahun terakhir pengasingan ini para Pandawa menyamar dan bersembunyi di istana Raja Viram. Alkisah putri sang raja kemudian dikawinkan dengan Abimanyu. Putra Arjuna. Dhristaketu: Putra Sishupala, raja dari Chedi-desha.
Chekitana: Salah satu pendekar yang gagah berani yang memimpin salah satu dari tujuh divisi laskar Pandawa.
Purujit dan Kuntibhoja: Saudara-saudara laki dari ibu Kunti ibunya sang Pandawa. Shaibya: Raja suku Sibi. Duryodana menyebutnya sebagai banteng diantara manusia, karena ia adalah seorang pendekar sakti yang benenaga luar biasa.
Yudhamanyu dan Uttamauja: Pangeranpangeran dari Panchala, juga merupakan pendekar pendekar nan saktiwirawan. Keduanya dibunuh Ashvathama sewaktu sedang tidur.
Saubhadra: Putra Arjuna dan Subadra (adik sang Krishna). Ia dikenal juga dengan nama Abimanyu. Dalam perang ini ia memperlihatkan kepahlawanan nya yang luar biasa.
Putra-putra Draupadi: Mereka berjumlah lima orang, yaitu Prativindhya, Srutasoma, Srutakirtti, Satanika dan Srutukarman.Pendekar-pendekar di atas semuanya kalau bekerja untuk perdamaian niscaya akanmenghasilkan suatu suasana damai bagi semuanya, tetap rupanya takdir menentukan yang lain, dan itulah misteri Ilahi yang tak akan mungkin terjangkau oleh kita manusia ini.
1.7
asmākaḿ tu viśiṣṭā ye
tān nibodha dvijottama
nāyakā mama sainyasya
saḿjñārthaḿ tān bravīmi te
Ketahuilah juga, oh Engkau yang teragung di antara yang dilahirkan dua kali, pemimpin-pemimpin dan pendekar-pendekar di pihak kami, akan kusebutkan mereka demi Engkau yang kuhormati.
Penjelasan: “Yang teragung diantara yang dilahirkan dua kali” adalah ungkapan yang ‘ditujukan kepada Rsi Drona, karena sang resi ini adalah seorang brahmana dan biasanya kaum brahmana dianggap lahir dua kali. Maksudnya: pertama seorang brahmana harus lahir di dunia fana ini. telapi di dunia ini ia harus menjalani kehidupan kebatinan demi Sang Maha Esa jadi “Iahir” lagi dengan meninggalkan semua nafsu keduniawian demi pengabdiannya ke masyarakat dan Tuhan Yang Maha Esa. Inilah tugas seorang Brahmana seharusnya.
1.8
bhavān bhīṣmaś ca karṇaś ca
kṛpaś ca samitiḿ-jayaḥ
aśvatthāmā vikarṇaś ca
saumadattis tathāiva ca
Pertama-tama Dikau yang mulia Drona kemudian Bhisma, Kama dan Kripa yang tak terkalahkan dalam setiap yudha juga Ashvatama Vihana dan putra Somadatta.
1.9
anye ca bahavaḥ śūrā
mad-arthe tyakta-jīvitāḥ
nānā-śastra-prāharaṇāḥ
sarve yuddha-viśāradāḥ
Dan banyak Iagi pahlawan-pahlawan lainnya yang bersedia mengorbankan jiwa-raga mereka. Bersenjatakan berbagai senjata-senjata yang sakti. Kesemuanya ahli-ahli perang yang tiada taranya.
Bhisma: Pendekar tua yang ditunjuk menjadi panglima tertinggi di pihak Kaurawa, yang sebenarnya masih “kakek” para Kaurawa dan Pandawa, Bhismalah sebenarnya yang membesarkan raja Dhristarashtra dan para Kaurawa-Pandawa. Beliau amat mencintai para Pandawa, telapi dalam perang ini beliau berpihak kepada para Kaurawa karena berhutang budi dan setia kepada Kaurawa sesuai dengan janjinya. Tempi Bhisma pemah bersumpah dihadapan Duryodana lak akan pemah membunuh para Pandawa; dalam perang Baratayudha ini Bhisma membuktikan kehebatannya sampai akhir hayatnya. Karna: Saudara tiri para Pandawa, adalah teman akrab Duryodana. Oleh Duryodana, Kama diangkat menjadi raja Anga (sekarang disebut daemh Bengal di India). Sebenamya Kama adalah seorang kesatria maha-sakn’ yang penuh dengan kasih-sayang kepada sesamzmya, lempi terikal sumpah setianya kepada Duryodana maka ia memilih pihak Kaurawa. Setelah malinya Drona‘ Kama diangkat menjadi panglima tertinggi Kaumwa tetapi hanya berlangsung dua hari saja, karena kemudian ia mati di tangan Arjuna. saudam tirinya sendiri. Beginilah kehendak Dewala. Kripa: Saudara ipar resi Drona. la adalah dianlara tiga pendekar dari pihak Kaurawa yang tidak gugur dalam pcrang Bamlayudha. Ahsvatama: Putra resi Drona. juga salah seorang panglima pemngnya Kaurawa yang terkenal liciknya. Vikarna: Putra keliga mja Dhrislarashtra. adik Duryodana. Putra Somatlattaz Somadaua adalah raja dari negam Bahikas yang membantu Kaurawa.
1.10
aparyāptaḿ tad asmākaḿ
balaḿ bhīṣmābhirakṣitam
paryāptaḿ tv idam eteṣāḿ
balaḿ bhīmābhirakṣitam
Tak terhitung jumlah laskar kami yang dipimpin oleh Sang Bhisma. sedangkan dipihak mereka (Pandawa) yang dipimpin oleh Bima. jumlah Iaskar mereka sangat mudah untuk dihitung.
Penjelasan: Sebenarnya jumlah tentara Kaurawa memang lebih Banyak dari pihak Pandawa. kabarnya Kaurawa mempunyai Iaskar Iebih banyak empat divisi dibandingkan pihak Pandawa. Ada juga yang menycbutnya berlipat ganda.
1.1 1
ayaneṣu ca sarveṣu
yathā-bhāgam avasthitāḥ
bhīṣmam evābhirakṣantu
bhavāntaḥ sarva eva hi
Dan telah diatur sedemikian rupa sehingga setiap pendekar dan pimpinan divisi berada pada posisi masing-masing dan menjaga Bhisma dengan baik.
Penjelasan: Oleh sementara ahli, ucapan-ucapan Duryodana di ata’s dianggap juga sebagai ungkapan rasa khawatir Duryodana yang merasa di pihak Pandawa terdapat lebih banyak pahlawan-pahlawan sakti, walaupun jumlah laskar mereka lebih sedikit.
1.12
tasya sañjanayan harṣaḿ
kuru-vṛddhaḥ pitāmahaḥ
siḿha-nādaḿ vinadyoccaiḥ
śańkhaḿ dadhmau pratāpavān
Untuk memberi semangat kepada Duryodana, Sang Bhisma yang bijaksana meniup sangkalalanya yang mengeluarkan suara seakana akan anman dahsyat seekor singa.
1.13
tataḥ śańkhāś ca bheryaś ca
paṇavānaka-gomukhāḥ
sahasāivābhyahanyanta
sa śabdas tumulo ‘bhavat
Kemudian dari segala penjuru tambur-tambur dan sangkalala dibunyikan oleh semua pihak, dan hiru‘k-pikuklah suasana waktu itudipenuhi suara-suara ini.
1.14
tataḥ śvetair hayair yukte
mahati syandane sthitau
mādhavaḥ pāṇḍavaś caiva
divyau śańkhau pradadhmatuḥ
Kemudian, duduk di kereta perang Nan agung, dengan pasangan-l pasangan kuda-kuda putih, Sang Krishna dan Arjuna masing-masing meniup sangkalala mereka.
1.15
pāñcajanyaḿ hṛṣīkeśo
devadattaḿ dhanañjayaḥ
pauṇḍraḿ dadhmau mahā-śańkhaḿ
bhīma-karma vṛkodaraḥ
Sang Krishna rrieniup sangkalalanya yang bernama Panchjanya, dan. Arjuna meniup sangkalalanya yang bernama Devadatta, sedangkan Bhima yang perkasa meniup sangkalalanya yang nampak besar, kekar dan kuat, bernama Paundra.
1.16
anantavijayaḿ rājā
kuntī-putro yudhiṣṭhiraḥ
nakulaḥ sahadevaś ca
sughoṣa-maṇipuṣpakau
Raja Yudhistira, putra ibu Kunti, meniup Anantawijaya, NakUla dan Sahadewa masing-masing meniup Sugosha dan Manipuspaka. Raja Yud/zistira: Yang tertua di antara Pandawa adalah seorang maharaja yang berwatak tenang, penuh kasihasayang dan amat bijaksana dalam segala tindak-tanduknya, tak pemah bohong dalam segala hal. Beliau dikenal lebih sebagai seorang negarawan dari pada seorang pendekar yang gemar berperang. Sangkalala yang dimilikinya disebutAnantavijaya yang berani “kemenangan tanpa akhir” atau juga disebut “suara-kemenangan.“ Nakula: Putra keempat Pandawa dikenal amat mahir berkuda, sangkalala nya bernama Sagosha yang berarti “bersuara indah.” Sahadewa (Sadewa): Putra Pandawa yang paling bungsu memiliki sangkalala yang bernama Manipuspaka yang berarti “mutiara yang mekar” atau “bunga-bunga mutiara,” karena sangkalala yang satu ini teramat indahnya, selain bentuknya laksana mutiara ditaburi pula dengan mutiaramutiara asli yang indah.
1.17
kāśyaś ca parameṣv-āsaḥ
śikhaṇḍī ca mahā-rathaḥ
dhṛṣṭadyumno virāṭaś ca
sātyakiś cāparājitaḥ
Juga yang ikut meniup sangkalalanya masing-masing adalah raja dan ‘ Kashi yang memimpin laskar pemanah. kemudian Sikhandi (Srikandi) yang gagah perkasa, Dhristadyumna. Wata dan Satyaki (Setiakl) yang tak terkalahkan.
1.18
drupado draupadeyāś ca
sarvaśaḥ pṛthivī-pate
saubhadraś ca mahā-bāhuḥ
śańkhān dadhmuḥ pṛthak pṛthak
Juga Drupada dan putra-putra Draupadi. Dan Juga Saubhadra, semuanya meniup sangkalala mereka dan‘ setiap jurusan. Shikandi (Srikandi) di India sering disebut juga sebagai putra mja (scbcnamya IA seorang banci) Drupada. di Indonesia in dikenal sebagai pahluwnn wanita. merupakan titisan dewi Amba yang mcnuntut balas kepada Bhisma. Panahnya akan menghabisi nyawa Bhisma dalum perang ini. Saryaki adalah Sais kereta pcrang pribadi Sang Krishna.
1.19
sa ghoṣo dhārtarāṣṭrāṇāḿ
hṛdayāni vyadārayat
nabhaś ca pṛthivīḿ caiva
tumulo ‘bhyanunādayan
Suara-suara dahsyat sangkalaIa-sangkalala ini memenuhi langit dan buml tanpa henti-hentinya dan menjatuhkan semangat putra-putra Kaurawa.
1.20
atha vyavasthitān dṛṣṭvā
dhārtarāṣṭrān kapi-dhvajaḥ
pravṛtte śastra-sampāte
dhanur udyamya pāṇḍavaḥ
hṛṣīkeśaḿ tadā vākyam
idam āha mahī-pate
Kemudian Arjuna yang di kereta perangnya terdapat panji bergambarkan Hanoman. memandang ke arah putra-putra Dhristarashtra yang telah siap untuk berperang; dan tak lama kemudian ketika perang akan segera dimulai. Arjuna memungut busur panahnya.
1.21
Arjuna uvāca
senayor ubhayor madhye
rathaḿ sthāpaya me ‘cyuta
yāvad etān nirīkṣe ‘haḿ
yoddhu-kāmān avasthitān
Dan berkata kepada Sang Krishna :
1.22
kair mayā saha yoddhavyam
asmin raṇa-samudyame
ingin kulihat semua yang di medan ini, mereka yang telah bersiap siap untuk berperang, dengan siapa aku nanti harus berlaga
1.23
yotsyamānān avekṣe ‘haḿ
ya ete ‘tra samāgatāḥ
dhārtarāṣṭrasya durbuddher
yuddhe priya-cikīrṣavaḥ
ingin kulihat mereka-mereka yang berkumpul di sini. yang berhasrat untuk mendapatkan sesuatu yang berharga bagi putra-putra Dhristarashtra yang berhati ibiis itu. Berkatalah Sanjaya
1.24
sañjaya uvāca
evam ukto hṛṣīkeśo
guḍākeśena bhārata
senayor ubhayor madhye
sthāpayitvā rathottamam
Setelah Arjuna selesai dengan kata-katanya. Sang Krishna pun mengarahkan kereta perangnya. kereta yang terbaik diantara semua kereta-kereta perang, ke tengah-tengah, diantara kedua laskar yang berbaris rapi.
1.25
bhīṣma-droṇa-pramukhataḥ
sarveṣāḿ ca mahī-kṣitām
uvāca pārtha paśyaitān
samavetān kurūn iti
Di hadapan Bhisma. Drona dan pendekar-pendekar lainnya. Berkatalah Krishna Lihatlah, oh Arjuna, para Kuru yang sedang berkumpul (di sini).
1.26
tatrāpaśyat sthitān pārthaḥ
pitṝn atha pitāmahān
ācāryān mātulān bhrātṝn
putrān pautrān sakhīḿs tathā
śvaśurān suhṛdaś caiva
senayor ubhayor api
Dan Arjuna pun melihat paman-pamannnya. para sesepuh (kakekkakek), guru-guru, saudara-saudara dari :ibunya. putra-putra dan para cucu, misan dan sahabat-sahabatnya, berdiri berbaris rapi.
1.27
tān samīkṣya sa kaunteyaḥ
sarvān bandhūn avasthitān
kṛpayā parayāviṣṭo
viṣīdann idam abravīt
Juga terlihat ayah-mertuanya dan para temén yang terdapat di kedua belah pihak. Melihat jajaran sanak-saudaranya yang berbaris rapi ini, Arjuna.
1.28
Arjuna uvāca
dṛṣṭvemaḿ sva-janaḿ kṛṣṇa
yuyutsuḿ samupasthitam
sīdanti mama gātrāṇi
mukhaḿ ca pariśuṣyati
yasyasti bhaktir bhagavaty akiñcana
sarvair gunais tatra samasate śūrāḥ
harav abhaktasya kuto mahad-guna
manorathenasati dhavato bahih:
Tergetar penuh dengan rasa iba dan berkata pilu. Berkatalah Arjuna . Melihat jajaran keluargaku ini, oh Krishna, bersiap-siap untuk berperang.
1.29
vepathuś ca śarīre me
roma-harṣaś ca jāyate
gāṇḍīvaḿ sraḿsate hastāt
tvak caiva paridahyate
Sendi-sendi badanku terasa lemas dan bibirku terasa rapat, seluruh tubuhku tergetar dan rambutku tegak berdiri.
1.30
na ca śaknomy avasthātuḿ
bhramatīva ca me manaḥ
nimittāni ca paśyāmi
viparītāni keśava
Busur Gandivaku terlepas dari tanganku dan seluruh kuIitku terasa terbakar; tak kuat aku berdiri tegak Iagi kepalaku serasa berputar putar.
1.31
na ca śreyo ‘nupaśyāmi
hatvā sva-janam āhave
na kāńkṣe vijayaḿ kṛṣṇa
na ca rājyaḿ sukhāni ca
Dan kulihat pertanda iblis, oh Krishna! Tak kulihat sesuatu apapun yang baik dengan membunuh sanak-saudaraku dalam perang ini.
1.32
kiḿ no rājyena govinda
kiḿ bhogair jīvitena vā
yeṣām arthe kāńkṣitaḿ no
rājyaḿ bhogāḥ sukhāni ca
Tak kuinginkan kemenangan, oh Krishna, tidak juga aku menginginkan kerajaan atau pun kesenangan-kesenangan. Apakah arti sebuah kerajaan untuk kami, oh Krishna, atau pun apakah arti dari kesenangan bahkan hidup ini?
1.33
ta ime ‘vasthitā yuddhe
prāṇāḿs tyaktvā dhanāni ca
ācāryāḥ pitaraḥ putrās
tathāiva ca pitāmahāḥ
Mereka-mereka ini sekarang berjajar rapi untuk mengorbankan hidup dan harta-benda mereka, sedangkan kami menginginkan kerajaan, kemewahan dan kesenangan, bukankah sebenarnya semua itu diperjuangkan untuk mereka juga.
1.34
mātulāḥ śvaśurāḥ pautrāḥ
śyālāḥ sambandhinas tathā
etān na hantum icchāmi
ghnato ‘pi madhusūdana
Yang terdiri dari para guru, ayah, putra-putra dan para kakek, paman, mertua, cucu. saudara-saudara ipar dan sanak-saudara lainnya
1.35
api trai-lokya -rājyasya
hetoḥ kiḿ nu mahī-kṛte
nihatya dhārtarāṣṭrān naḥ
kā prītiḥ syāj janārdana
Aku tak akan membunuh siapapun juga. walaupun aku sendiri boleh mati terbunuh oh Krishna, takkan kuberperang walaupun aku sanggup mendapatkan ketiga dunia ini; apalagi hanya untuk satu yang bersifat duniawi ini?
1.36
pāpam evāśrayed asmān
hatvā itān ātatāyinaḥ
tasmān nārhā vayaḿ hantuḿ
dhārtarāṣṭrān sa-bāndhavān
sva-janaḿ hi kathaḿ hatvā
sukhīnaḥ syāma mādhava
Setelah membantai putra-putra Dhristarastra, kenikmatan apakah yang dapat kita miliki. wahai Krishna? Seteiah membunuh penjahat-penjahat ini, kita sendiri akan tercemar oleh dosa-dosa-ini.
1.37
yady apy ete na paśyanti
lobhopahata-cetasāḥ
kula-kṣaya-kṛtaḿ doṣaḿ
mitra-drohe ca pātakam
Tak benar bagi kita untuk membunuh sanak-saudara sendiri, yaitu putra putra Dhristarashtra. Sebenarnya, wahai Krishna, mana mungkin kIta ‘kan bahagia dengan membunuh keluarga kita sendiri?
Penjelasan: Arjuna adalah seorang pahlawan besar, tetapi menghadapi situasi yang unik ini, ia terhempas ke dalam suatu keragu-raguan yang dalam. Arjuna ke Kurukshetra untuk berperang tetapi tiba-tiba ia tak sampai hati untuk membunuh sanak saudaranya sendiri, walaupun ia tahu mereka-mereka ini berhati iblis. Tiba-tiba ia ragu untuk maju, gundahlah Arjuna dalam “ke akuan” nya.
Bukanlah kita manusia ini sering juga mengalami tekanan-batin yang berat dalam mengambil suatu keputusan yang maha-penting? Bukankah rasa iba sering kali membuka pintu kelemahan kita dan mengantarkan kita ke arah kehancuran itu sendiri? Itu semua karena kita terikat akan sanak-keluarga, harta-benda, nama posisi kita dalam masyarakat. Menjadi budak dari adat-istiadat demi kepentingan egois orang lainnya.
Arjuna terjebak oleh rasa ibanya, oleh adat-istiadat dan simbol-simbol duniawi. Ia lupa tugas manusia sesungguhnya adalah demi dan untuk Yang Maha Esa, dan jalan ke Dia berarti meninggalkan semua milik duniawinya baik yang berbentuk konkrit (nyata) maupun yang berbentuk abstrak. Dalam agama Kristen kita menjumpai suatu persamaan dalam hal ini, Nabi Isa (Yesus) pernah bersabda: “Seandainya sesrorang datang kepadaKu tetapi belum bersedia meninggalkan ayah-bundanya anak-istrinya, dan saudara-saudaranya,maka ia tidak akan menjadi muridKu.” Begitu pun dalam agama Hindu sering kita jumpai tokoh-tokoh spiritual di masa-masa yang silam yang harus meninggalkan “semua miliknya,” kalau sudah memilih jalanNya.
lni bukan berarti Sang Krishna mengecam “rasa-iba” atau perasaan “simpati” atas penderitaan seseorang: rasa-iba sebenamya adalah sifat seorang yang satvik. Tetapi rasa-iba yang sejati menurut versi Bhagavat Gita adalah yang tanpa moha, yaitu keterikatan secara duniawi. Rasa iba yang sejati adalah ekspresi dari cinta atau kasih sayang dari seseorang yang penuh dengan rasa “welas-asih,” dan tidak seseorang pun akan dapat mencintai sesuatu/seseorang dengan sejati tanpa memasuki “sinar pengetahuan llahi.” dan bersedia berjalan lurus (tanpa keterikatan duniawi apapun juga) di jalannya sang dharma. Di atas, untuk sejenak Arjuna ‘ rupanya lupa akan dharmanya. Arjuna lupa dan belum sadar bahwa sanak saudaranya yang sebenarnya bukanlah yang lahir secara fisik sebagai adik, kakak, ayah, ibu, paman, kakek, dsb, tetapi Sanak-saudara yang sejati adalah mereka yang mencintai Yang Maha Esa dan jalan di jalan lurus Sang Dharma. Merekalah sanak-saudara kita yang sejati, tulus dan seiman dalam naungan Yang Maha Esa.
Arjuna masih hilang dalam kealpaannya. Ia lupa bahwa dharma mengharuskan seseorang untuk melaksanakan semua kehendak Yang Maha Esa tanpa pamrih, sama sekali tanpa imbalan sesuatu apapun juga baik itu pahala atau pintu surga, tanpa apapun juga, titik. Hanya bekerja untuk dan demi Dia! Rasa iba yang sejati harus didasarkan atas dharma. Sang Rama sendiri untuk’menegakkan dharma berperang melawan Rahwana, dan di Bhagavat Gita Sang Krishna menganjurk’an jalan yang sama kepada Arjuna, agar Arjuna lepas dari choka (kesedihan) dan moha (keterikatan atau cinta duniawi). . ‘
Di dalam Bhagavat Gita ajaran penting yang tersirat adalah “buhuhlah atau kekanglah pintu-pintu nafsumu.” Agama-agama yang lain pun selalu mengajarkan hal yang sama: Zoroaster misalnya mengatakan “berperangiah terhadap iblis tanpa henti-hentinya,” Sang Buddha berperang dengan Sang Mara, Yesus berperang dengan Syaitan, dan masih banyak contoh dari agama-agama yang lain Arjuna di atas masih lupa bahwa ia harus berperang melawan Duryodana demi tegaknya dharma.
1.38
kathaḿ na jñeyam asmābhiḥ
pāpād asmān nivartitum
kula-kṣaya-kṛtaḿ doṣaḿ
prapaśyadbhir janārdana
Dengan hati yang dikuasai oleh’ keserakahan, maka tidak terlihatlah kesalahan ini yang akan mengakibatkan hancurnya keluarga kita dan ‘ penghianatan atas teman-teman dan para sahabat.
1.39
kula-kṣaye praṇaśyanti
kula-dharmāḥ sanātanāḥ
dharme naṣṭe kulaḿ kṛtsnam
adharmo ‘bhibhavaty uta
Mengapa kita tidak memiliki kebijaksanaan untuk menjauhi dosa semacam ini, wahai Krishna bukankah kita melihat kesalahan ini akan mengakibatkan kehancuran keluarga kita?
Penjelasan: Arjuna masih menilai bahwa sesuatu kewajiban harus dilaksanakan dengan memikirkan imbalan yang duniawi sifatnya. Sedangkan dharma yang sejati tidak menuntut apa-apa. Dharma harus ditegakkan demi Yang Maha Kuasa. dan apapun yang diberikanNya sesudah itu, baik yang menyenangkan untuk kita atau yang membuat kita menderita karenanya, haruslah diterima sebagai pemberianNya. Dan itu harus ikhlas, tanpa pamrih. Semua dharma kita adalah kewajiban dan persembahan kita kepadaNya,bahkan harus penuh dengan tanggung jawab yang tulus kepadaNya bukankepada kehendak unsur unsur duniawi yang banyak terdapatdisekitar kita, yang kalau dihitung seakan akan tiada habisnya
1.40
adharmābhibhavāt kṛṣṇa
praduṣyanti kula-striyaḥ
strīṣu duṣṭāsu vārṣṇeya
jāyate varṇa-sańkaraḥ
Dengan hancurya sebuah keluarga, hancurlah juga semua tradisi-tradisi lama kita (kuladharma), dan dengan hancurnya tradisi-tradisi, larangan dan segala peraturan-peraturan nenek-moyang kita, maka kekacauan akan menguasai keluarga kita semuanya.
1.41
sańkaro narakāyaiva
kula-ghnānāḿ kulasya ca
patanti pitaro hy eṣāḿ
lupta-piṇḍodaka-kriyāḥ
Dan kalau kekacauan ini (adharma) berkelanjutan, maka wahai Krishna, wanita-wanita dalam keluarga ini akan berjalan serong. Dan kalau para wanita kita telah berlaku serong, oh Krishna akan terjadi percampuran dalam sistim kasta.
Penjelasan: Arjuna amat khawatir bahwa kehancuran dalam keluarga besar mereka akan menghancurkan juga nilai-nilai lama tradisi mereka, dan lebih dari itu, juga akan menghancurkan sistim kasta yang mereka pegang teguh. Di dalam Bhagavat Gita, kita akan menemukan bahwa sistim kasta yang dianut secara diskriminasi adalah salah, suatu yang tidak senafas dengan inti ajaran Bhagavat Gita. Peranan wanita dalam agama Hindu’sebenamya sangat vital dan suci, nasib sesuatu bangsa maupun keluarga sering sekali ditentukan oleh peranan seorang wanita yang dalam hal ini bisa berupa seorang ibu, istri, dan sebagainya. Tidaklah mengherankan kalau Arjuna sangat gundah akan hancumya moral para wanita ‘ dalam keluarga-besar mereka. Semenjak masa silam, para wanita dalam agama Hindu selalu mendapatkan posisi yang agung dan suci, penuh tugas untuk dharma. Derajat mereka sebenarnya lebih suci dari para pria dan nilai mereka lebih tinggi. Ini dapat dibuktikan dari kedudukan para dewa-dewi dalam legenda agenda Hindu, juga suatu upacara suci tidak akan sah kalau tidak dihadiri seorang wanita; juga peranan gadis-gadis yang masih suci amatlah vital dalam upacara untuk para leluhur dan tentunya masih sekian banyak contoh-contoh lainnya yang dapat kita baca sendiri di epik Mahabarata dan Ramayana di mana peranan wanita amat menonjol penuh kebajikan.
1.42
doṣair etaiḥ kula-ghnānāḿ
varṇa-sańkara-kārakaiḥ
utsādyante jāti-dharmāḥ
kula-dharmāś ca śāśvatāḥ
Dan kekacauan ini akan menjerumuskan, baik keluarga kita maupun yang menghancurkan nilai-nilai tradisi, ke neraka. Dan arwah para leluhur pun akan terabaikan karena tak akan mendapatkan air dan sesajen yang berbentuk bulatan terbuat dari beras).
Penjelasan: Arjuna amat khawatir kalau peperangan ini akhimya malah merusak nilai nilai tradisi lama dan agama mereka, sehingga arwah para leluhur pun Ikut makan getahnya dengan tidak mendapatkan sesajen lagi. Biasanya para wanitalah yang mengatur sesajen ini pada upacara-upacara keagamaan tertentu. Kalau wanita-wanita dalam keluarga mereka sudah tidak setia lagi kcpada leluhur mereka tentu akan timbul kekacauan dalam tradisi ini, pikir Arjuna. Upacara sesajen untuk para leluhur disebut shraddha.
1.43
utsanna-kula-dharmāṇāḿ
manuṣyāṇāḿ janārdana
narake niyataḿ vāso
bhavatīty anuśuśruma
Karena ulah yang menghancurkan keluarga kita ini. terciptalah kekacauan dalam sistim vama (kasta) yang ada dalam tradisi kaum kita dan hancurlah keluarga ini.
1.44
aho bata mahat pāpaḿ
kartuḿ vyavasitā vayam
yad rājya-sukha-lobhena
hantuḿ sva-janam udyatāḥ
Dan kami dengar. wahai Krishna, bahwa barang siapa kehilangan niiai-nilai . tradisi keluarga, mereka akan tinggal di neraka.
1.45
yadi mām apratīkāram
aśastraḿ śastra-pāṇayaḥ
dhārtarāṣṭrā raṇe hanyus
tan me kṣemataraḿ bhavet
Aduh, Betapa besarya dosa yang harus kita pikul dengan membunuh sanak-keluarga hanya demi kemewahan sebuah kerajaan.
1.46
sañjaya uvāca
evam uktvārjunaḥ sańkhye
rathopastha upāviśat
visṛjya sa-śaraḿ cāpaḿ
śoka-saḿvigna-mānasaḥ
Lebih baik aku dibantai putra-putra Dhristarastra dengan senjata mereka, dan tak akan kulawan mereka.
Berkatalah Sanjaya
1.47
Setelah mengatakan hal-hal tersebut (di medan perang), Arjuna terjatuh ke sandaran kursi (kereta perangnya), dan menghempaskan panah serta busurnya; seluruh jiwanya tercekam dengan rasa gundah-gulana.
Penjelasan: Arjuna sebenarnya adalah seorang kesatria yang bersih, tetapi pada saat ini hatinya diselimuti awan tebal. Ia sebenarnya, seakan-akan berbicara tentang vairagya (penyerahan diri secara total), tetapi hal’ini dilakukannya karena keterikatannya kepada sanak-keluarga dan harta duniawi, bukan vairagya kepada Yang Maha Esa. Banyak yang bertanya apa perbedaan antara cinta (moha) dan cinta-sejati? Yang pertama adalah kulit luarnya yang selalu terikat pada sesuatu benda atau seseorang secara duniawi, sedangkan cinta-sejati adalah suatu ekspresi dari suatu kesadaran yang dianugerahkan oleh Yang Maha Esa kepada kita semuanya yang sebenarmya penuh dengan rasio, pertimbangan, dan perhitungan yang penuh tanggung jawab baik kepada masyarakat maupun Yang Maha Pencipta. Cinta sejati tidak terikat pada batas-batas pribadi seseorang. Arjuna tidak dapat berperang karena ia masih terikat dalam batas-batas “miliknya,” ia masih mencintai scmua sanak-keluarganya dalam batas duniawi. Arjuna lupa akan akhir hidup kita semuanya,’tidak ada sesuatu apapun yang akan kita bawa kembali ke alam sana, karenanya Arjuna masih harus belajar tentang nishkama-karma (sesuatu tindakan atau pekerjaan tanpa mengharapkan pamrih).
Sang Krishna maklum Arjuna sedang mengalami depresi mental yang sangat berat.‘ beliaupun memulai ajaran-ajaranNya demi membangun lagi jiwa-raga Arjuna agar terjun lagi penuh semangat dan vitalitas untuk menghadapi hidup ini yang penuh dengan segala cobaan tetapi juga tugas-tugas dari Yang Maha Pencipta untuk kita semua.
lnti ajaran Bhagavat Gita adalah, pembinaan mental diri kita sendiri sccara batin. Gita mengingatkan dan sekaligus mengajarkan bahwa kelemahan adalah dosa; sesuatu kekuatan diri haruslah dibina dengan disiplin yang kuat dan tanpa pamrih. Kekuatan ini harus bersih dari segala unsur-unsur duniawi dan penuh dengan gairah hidup demi dharma kita kepadaNya. Pesan Sang Krishna dalam Bhagavat Gita adalah “berdirilah dan berperanglah melawan kebatilan.” Hidup
adalah perjuangan demi nilai-nilai kebenaran; hidup juga adalah sebuah kuil atau pura dari pemujaan kita kepadaNya tanpa pamrih; Maju terus pantang mundur demi dharma-bhaktimu kepadaNya, bukan kepada hasrat-hasrat pribadimu dalam bentuk apapun juga.
Dalam Upanishad Bhagavat Gita, Bab yang pertama ini disebut sebagai Ilmu Pengetahuan tentang Ilahi, sebuah Karya Sastra yang berbentuk dialog antara Sang Krishna dan Arjuna yang disebut juga:
Arjuna Vishada Yoga
(Yoga Sang Arjuna dalam Kedukaannya)
Bab pertama disebut “Vishada Yoga.” Vishada berarti depresi (karena duka), yoga di sini berani bagian atau Bab. Vishada yoga adalah permulaan dari Bhagavat Gita.
Sebenarnya kalau ditelah secara mendalam. maka rasa depresi atau Vishada ini adalah anak tangga pertama menuju ke kehidupan spirituil atau kebatinan. Setiap manusia harus mengalaminya setelaah tersandung dalam berbagai aspek kehidupannya yang gagal, dan masuklah ia kemudian ke dalam suatu kegelapan seakan akan tanpa jalan keluar, kemudian barulah ia meniti secara perlahan dari gelap menuju ke terang. Dalam setiap depresi ini kalau sudah tidak terlihat jalan keluar maka kita akan berteriak dalam kedukaan yang amat dalam: “Apakah arti kehidupan ini? Apakah arti semuanya ini? Mengapa kita harus dilahirkan? Kemana kita akan pergi sesudah mati nanti? Dan sering sekali kita mengucapkan. “Oh Tuhanku mengapa Kau lupakan daku?” Mengapa Kau tinggalkan daku sendiri dalam duka ini?” dan “Oh Tuhan Dikau tak adil pada ku?” dan lain sebagainya. sebagai tanda-tanda frustrasi dalam diri kita. Setiap manusia kemudian harus masuk ke dalam suatu keheningan sebelum ia kemudian melangkah masuk dalam suatu bentuk ilmu pengetahuan tentang dirinya sendiri. Dalam keheningan ini setelah membunuh atau menguasai
Semua bentuk rasa egonya baik yang berbentuk positif (baik) maupun negatif (buruk). ia akan mememukan bahwa ia tidak berdiri sendiri dan semua ini ada yang mengatur. la akan menemukanNya, yang selalu mengayominya, menuntunnya dan kasih-sayang kepadanya. Ia (Yang Maha Esa) selalu hadir dalam setiap agama dengan bentuk dan versi yang berlainan sesuai dengan kepercayaan masing-masing individu; dalam Hindhu Dharma Ialah Sang Krishna (Ilahi dalam bentuk manusia), Sang Penuntun jalan kehidupan kita. Camkanlah bahwa untuk mendapatkan penerangan, sesorang melalui jalan takdir biasanya harus mengalami kegelapan dulu. Begitu juga Arjuna dan begitu juga kita manusia, sampai suatu saat nanti, kita pun, seperti Sang Arjuna akan mengucapkan:
Engkaulah yang Terutama,
Engkaulah Tujuan yang Tertinggi,
Dari ujung ke ujung Kau penuhi alam semesta ini,
Oh Dikau Bentuk yang Tanpa Batas (Anantarupam),