Konon salah satu shastra widhi Hindu Dharma kuno menyatakan bahwasanya Bunda Pertiwi di masa-masa awal penciptaan manusia pernah “memprotes” ide Hyang Maha Kuasa yang memerintahkan Bumi Pertiwi untuk mempersiapkan kelahiran umat manusia di muka bumi ini. Sambil meratap Pertiwi memohon agar manusia tidak diciptakan karena beliau sadar akan mara-bahaya yang akan ditimbulkan manusia di masa depan dengan merusak bumi dan isinya ini. Yang akan mencabik-cabik bundanya sendiri dengan ego,ahankara dan keserakahannya. Yang akan merusak sendi-sendi kehidupan dan berbagai ciptaan-ciptaan yang sudah diciptakan secara sempurna dan penuh makna dan harmonis bagi kelangsungan kehidupan di Mayapada ini.
Namun Hyang Maha Kuasa berkenan lain. Rencana Beliau teramat misteri sifatnya, Pertiwi tetap dianjurkan menciptakan umat manusia namun Beliaupun berkenan menambahkan hukum alam (Karma-Phala) sebagai hukuman bagi mereka yang berdosa di muka bumi nan indah menawan ini.
Pertiwipun akhirnya menyerah kepada kehendak-Nya, Hyang Maha Mengetahui. Kisah ini selanjutnya bergulir ke pengadukan Mandara-Giri yang dahsyat itu. Berbagai elemenpun dikeluarkan Bunda Pertiwi dari rahimnya yang berupa samudra kehidupan yang teramat luas dan penuh keajaiban yang tiada tara. Beliaupun menghadirkan dirinya sebagai Sri dan Lakshmi, bahkan sebagai a-lakshmi. Sebagai Merta, dan para resi suci, sebagai Weda-weda, sumber pengetahuan Ilahi (Bhagawatam) nan tanpa batas. Kehadiran beliau begitu sempurna, indah dan harmonis demi lestarinya berbagai penciptaan sebelumnya dan sesudah pengadukan Mandara-Giri seperti : para dewata, asura, manusia, fauna, flora dan maha panca butham yang memenuhi bumi loka dan loka-loka lainnya di semesta raya tanpa batas ini. Konon Weda mengatakan intisari manusia berasal dari Hyang Brahma, sang leluhur dewata, manusia dan berbagai ciptaan dunia ini. Sewaktu manusia pertama berevolusi sebagai maha insan di masa lampau, beliaupun disebut Manu (asal kata Man atau
jalan pikiran). Pada mulanya Manu yang berkelamin ganda dan berbudi adiluhur itu melaksanakan seluruh tugas mulianya sesuai kodrat dan kehendak Hyang Maha Kuasa, namun jutaan tahun kemudian iapun mulai berubah dan menghasratkan istri dan keluarga, tentu saja semua ini direkayasa oleh kehendak Tuhan itu sendiri yang ingin mengisi muka bumi dengan manusia untuk tujuan dharma yang dipahami oleh-Nya sendiri juga. Maka seorang istri nan cantik jelitapun dihadirkan dari sperma pradhana Sang Manu.
Weda menghadirkan kisah cantik nan unik tentang kelahiran sang wanita pertama. Kelahirannya disertai gabungan dari berbagai unsur fauna-flora dan fenomena alam serta partisipasi panca butha; selanjutnya perpaduan antara purusha-perdana pertama inipun melahirkan berbagai ras dan suku bangsa di atas wahana yang disebut bumi atau bhur ini. Manusia ini melalui proses yang unik tidaklah lepas dari berbagai sifat-sifat devaik, asurik, keindahan, keburukan, peri kebinatangan, dan seterusnya. Konon selanjutnya Pertiwi menangis sejadi-jadinya sewaktu manusia destruktif
kepadanya. Tangisannya berubah menjadi air bah yang menutup permukaan bumi, yang selamat hanyalah keluarga Manu-Swayambhu dan bahtera yang dituntun oleh Hyang Wishnu dalam bentuk ikan raksasa. Era baru dimulai lagi oleh manusia melalui ajaran Manawa Dharma Shastra serta berbagai hukum-hukum untuk pelestarian umat manusia dan bumi ini. Jadi pralaya sebenarnya telah terjadi di bumi ini oleh ulah manusia itu sendiri, ajaran ini diakui dan hadir dalam semua agama dan ajaran-ajaran adiluhung baik di Asia, Afrika maupun Amerika-Latin dalam berbagai versi.
Jutaan tahun kemudian, milyaran manusia sekali lagi memenuhi permukaan bumi ini, dan sekali lagi secara serakah sejarah berulang lagi. Pertiwi, Sang Bunda yang penuh pengorbanan ini dilecehkan dan dirusak lagi dan lagi.
Coba bayangkan,setiap pagi kita setelah bangun tidur akan segera mengotori bumi ini dengan segala kekotoran kita, meludah,buang air,membakar sampah dan sebagainya. Semuanya kita lakukan seakan-akan bumi tidak berdaya dan merupakan seongokan sampah belaka.Akibatnya alampun ”memberontak” kalau dianiayai dan dieksploitasi
terus menerus secara kejam dan tanpa perikemanusiaan.
Konon di masa lalu di berbagai belahan dunia, alam dilestarikan secara sistematis, dijaga dan diagungkan karena adalah pemberi yang teramat royal. Berbagai aturan dan pamali menjaga bumi ini melalui berbagai kultur budaya yang beradab, semua demi lestarinya umat manusia itu sendiri. Tetapi pada era ini, minyak, gas, hasil tambang disedot habis-habisan demi kemajuan suatu negara dan bangsa. Dijadikan komoditi jual secara serakah penuh politik membabi-buta demi tujuan business dan kekuasaan suatu negara atas negara-negara lainnya tanpa mau tahu bahwa bumi menyediakan dirinya secara gratis dan adil untuk seluruh ciptaan-ciptaannya. Sewaktu bumi dihisap habis, maka terciptalah relung-relung raksasa di dalam dasar bumi itu sendiri, yang tidak pernah diisi ulang atau direhabilitasi lagi. Sesuai dengan hukum gravitasi itu sendiri, maka terjadilah saling isi mengisi antara ruang-ruang kosong ini dengan gerakan-gerakan lempeng bumi yang bergeser terus akibat perputaran bumi itu sendiri, dan lalu kalau kemudian hadir bencana tanpa pandang bulu,
maka siapakah yang salah? Manusia zaman ini lebih kejam dan haus harta dibandingkan di zaman Manu, bencanapun makin dahsyat datang sesuai dengan yang direbutkan manusia itu sendiri. Itulah bentuk pralaya (kiamat) kecil yang sedang melanda seluruh bangsa dan negara di dunia dalam berbagai versi dan wujud, seperti AIDS, FLU BURUNG, peperangan, kerusakan hutan, sungai dan temperatur, perusakan ozon yang lalu berdampak balik ke umat manusia itu sendiri. Bahkan dengan berbagai dalih ajaran-ajaran agamapun dipakai untuk menghalalkan segala pengrusakan ini. Demikanlah semua bencana di Nusantara dan di dunia ini sebenarnya sedang mengarah ke sebuah Pralaya besar (Kiamat), akibat luka-parahnya Bunda Pertiwi yang dikhianati oleh anak-anaknya sendiri, yang durhaka dan tidak dapat membalas budi ibunya yang pengasih dan penyayang itu.
Di Nusantara ini, belum kita lepas dari derita Tsunami di Aceh, maka kita telah dihajar dengan berbagai bencana dalam bentuk banjir dan longsor di Bojonegoro, gempa di Jogja, Papua; banjir di Sulawesi dan Kalimantan, kecelakaan kerja yang ceroboh di Sidoarjo yang menghasilkan lumpur gas yang memporak-porandakan ekonomi dan kehidupan rakyat setempat, belum lagi penyakit dan wabah flu burung, korupsi dan kebodohan yang berkepanjangan, premanisme atas nama agama dan lain sebagainya yang sedang mengancam keutuhan bangsa dan negara ini. Sepertinya kutukan demi kutukan sedang menyantap bangsa ini akibat menggeliatnya Pertiwi yang sakit dan muak dengan segala ulah kita yang tidak satvik lagi. Entah apalagi yang akan terjadi pada bangsa yang ”sakit dan bodoh” ini, mass-media penuh dengan himbauan dan pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab bahkan oleh mereka-mereka yang sering tampil di layar kaca dengan jubah-jubah keagamaan. Semua jadi semu, manusia Indonesia berubah menjadi pesimis, akankah kita survive (bertahan hidup) sebagai sebuah bangsa, bumi Pertiwi saja sudah membalas apalagi dunia. Bangsa-bangsa lain mulai melecehkan kehadiran kita sebagai bangsa perusak tetangga kita sendiri.
Konon ditambahkan oleh para ahli bahwasanya negara dan bangsa ini memang rawan akan berbagai bencana karena hidup di bagian bumi yang terpapar luas terhadap berbagai fenomena alam yang mudah menimbulkan bencana. Negeri ini tepat berada di atas kulit bumi yang merupakan titik pertemuan sejumlah lempeng-lempeng patahan. Posisi ini diperparah karena wilayah Nusantara juga melingkupi wilayah yang disebut Ring of Fire (Cincin api). Di Indonesia hadir sekitar 130 gunung berapi yang siap meletus sewaktu-waktu. Yang tambah parah dan runyam lagi, wilayah kepulauan kita ini secara geografis menyimpan potensi hujan badai yang setiap saat dapat mengakibatkan banjir dan tanah longsor yang berkepanjangan. Jangan lupa bahwa manusia Indonesia itu sendiri pun juga amat ”berkontribusi” pada terjadinya berbagai bencana jangka pendek dan panjang. Sumber daya manusia Indonsia yang lemah dan buruk rupanya lupa bahwa bumi ini bukanlah benda mati. Seorang ilmuwan Jepang, Masaru Emoto, telah membuktikan dalam penelitiannya bahwa air yang terkandung di bumi ini ternyata memberikan reaksi yang berbeda dalam struktur kristalnya terhadap setiap perlakuan yang kita berikan. Bukankah Weda sudah menyiratkan hal tersebut melalui penalaran konsep Maha Panca Butham dari era masa lalu? Bahkan, jauh sebelumnya, dari leluhur umat manusia khususnya kaum Hindu-Dharma telah memberikan teladan dan ajaran melalui berbagai upaya, upacara, praktek dan ajaran mereka demi melindungi alam sekitar kita agar manusia itu sendiri terhindar dari berbagai bahaya dan bencana. Tetapi makin hari manusia bumi makin serakah dan zalim karena terlena oleh kebutuhan hidup dan kekurangan nurani. Naiknya BBM di negeri ini, tanpa disangka menghasilkan penebangan pepohonan di pedesaan karena rakyat miskin tidak lagi mampu membeli minyak tanah. Pemerintahpun terlambat menyadarinya, karena memang tidak ada misi dan visi khusus demi pembangunan bangsa ini baik secara moral maupun ekonomi. Bayangkan antri saja bangsa ini belum bisa. Apalagi membangun negara?
Bangsa ini sebenarnya mampu membaca tanda-tanda alam,fenomena. Seorang “Mbah Marijan”, juru kunci Merapi
ternyata melampaui batas-batas keserakahan dan kepandaian para birokrat. Cintanya pada alam dan kepatuhannya terhadap Sang pencipta membuka mata hati sebagian bangsa ini, khususnya yang sadar bahwa misteri Ilahi sebenarnya dapat direka oleh mereka-mereka yang memahami dan mempelajari alam secara rasional melalui ikatan batin yang kental dengan alam itu sendiri. Toh sebagian besar birokrat dan masyarakat kita tidak berdaya dan terlilit terus oleh lingkaran setan dan kebodohan yang mereka hadirkan sendiri.
Mari kita lihat dari sisi yang satu ini, yang kita hadapi saat ini jumlah penduduk yang sudah tidak terkendali lagi (230 juta plus), yang mayoritasnya adalah miskin dan sumber daya manusia yang buruk dan berpenyakitan baik secara mental maupun moral, belum lagi konsumsi rokok yang diawali secara amat dini dan berpotensi menghilangkan satu dua generasi di masa depan. Negara sudah tidak mampu lagi melanjutkan gerakan Keluarga Berencana. Akibatnya lapangan kerja yang minim disertai pendidikan yang bermutu rendah plus sektor investasi yang makin kabur telah menciptakan fenomena